Balikpapan, 27 Juli 2014. Sekitar pukul 21.00 wita...
Ya, aku masih mengingat itu semua. Mengingat malam ini, dan
malam-malam sebelumnya. Mengingat ucapan ini, dan mengingat ucapan-ucapanmu
sebelumnya.
Malam ini, kau ulang lagi ucapan yang
tak ingin lagi kudengar dari bibir tebalmu. Dinginnya malam rasanya tak
menyurutkan rasa malumu untuk mengucapkan permintaan itu sekali lagi. Aku tak
akan percaya lagi pada apa yang kau ucap. Semua palsu. Kamu hanya sedang ada
konflik dengan pacar barumu dan ingin membuat pelarian denganku.
Pernah suatu ketika, aku
memikirkan ucapanmu. Ucapan yang katanya ingin “balik” seperti dulu. Aku pikir,
ucapan itu pantas untuk dipercaya mengingat bahasa kalbumu yang sedemikian
rupa. Aku memikirkan ucapanmu malam itu. Ku pikir akan ada kesempatan seperti
kesempatan-kesempatan yang sudah seribu kali kuberi padamu. Dan ternyata aku
salah.
Tuhan baik padaku. Ia menunjukkan
jalan-Nya padaku. Memang, tak seharusnya orang baik berjodoh dengan orang
jahat. Aku pikir, kamu memang telah berubah. Aku pikir, kamu layak mendapatkan
kesempatan yang sama seperti kemarin-kemarin. Aku pikir, akan ada jalan. Tapi
itu semua hanyalah “AKU PIKIR” bukan
kita pikir.
Mengulang kejadian itu, malam itu
juga, aku tak pernah lagi mempercayai kata-katamu. Kata-kata yang ingin “balik”
tapi tidak ada usaha sama sekali. Kamu mendalang
tentang pacar barumu. Seolah aku hanya bisa menonton cerita yang sedang kamu dalangi. Lagi-lagi cerita klasik kau
umbar. Kau berkata bahwa mamanya terlalu baik padamu sehingga kau tak kuasa
memutuskan hubungan dengannya. Dulu, aku pernah mendengar cerita klasik itu
sekali. Apa benar cerita itu? Akupun tak lantas begitu saja percaya seperti
omongan-omonganmu sebelumnya. Semua cerita-cerita itu, hanya kamu dan Tuhan yang
tahu kebenarannya.
Kamu ucapkan sekali lagi
kata-kata “balik” itu. Kamu buat perjanjian sendiri. Kamu ingin aku menunggumu
putus dari pacarmu, dan melihat perubahanmu dalam jangka waktu tertentu. Apa
kurang aku menunggumu putus dari pacarmu yang dulu? Apa kurang aku menunggumu
keluar dari pendidikan konyol yang hasilnya juga nothing? Apa kurang semua itu? Kamu sungguh bukan manusia yang
pandai bersyukur.
Aku memang tidak memiliki
kelebihan paras dibanding mantan-mantanmu yang lain. Aku tak sehebat mereka
yang bisa menari, pandai akting, dan jago dalam akademik. Tapi aku tahu aku
punya bakat lain yang mungkin mereka tak punya. Kamu manusia biasa yang mencari
kesempurnaan dalam diri seorang wanita. Kamu tak menyadari, banyak yang kurang
dalam dirimu. Kamu buat saja wanita sempurna dan kamu nikahi dia.
Aku tahu, kamu hanya mencintai
satu orang wanita yang pernah hadir dalam hidupmu. Wanita yang tak pernah ingin
kau lepas, bahkan ketika kau bersamaku. Terlihat dari benakmu yang tak pernah
bisa melepas ingatan lekat akan bayangnya. Ia yang sudah bersamamu dari SMA, ia
yang sudah menemani hari-harimu sepanjang satu tahun sembilan bulan, dan ia
yang sudah rela memberikan segalanya bagimu tapi kau pergi begitu saja. Masih
kurang?
Biarkanlah kami bahagia dengan
cara kami sendiri. Jangan pernah ada lagi topik tentang “masalalu”. Berteman?
Boleh. Tapi hanya kamu yang anggap itu, tidak denganku. Bagiku, mantan adalah
mantan. Tidak ada mantan menjadi teman untuk sebuah alasan yang tak rasional.
Jangan pernah mengunggah ingatan masalalu didalam otakku. Jangan pernah
mengucap kata “balik” untuk suatu hal yang tak pasti. Jangan pernah hadir lagi
jika hanya ingin menggurat luka.
Waiting again and
again? Lakukanlah sendiri. Apakah enak rasanya? Kamu tahu sendiri suatu saat nanti.