Rabu, 23 November 2022

Selayang Pandang

Diposting oleh Annisa di 06.33 0 komentar

Pukul 17.15 WITA, perempuan muda yang sebulan lalu baru berulang tahun ke-27 tahun itu pun pulang menuju ke rumah setelah seharian disibukkan oleh aktivitas kantor. Tak selayaknya menuju rute yang Ia tempuh sehari-hari, perempuan itu memilih jalan memutar yang lebih jauh. Ia sengaja melewati jalur yang lain karena ada sesuatu hal yang mengganggu pikirannya.

Perempuan itu akhirnya memacu motornya sedikit agak melaju daripada biasanya selain karena waktu tempuh yang cukup memakan waktu, pun pada sore hari jalanan akan mulai macet. Disusurinya sepanjang jalan kenangan itu, mulailah Ia belok kanan pada pertigaan lampu merah yang warnanya sudah hijau ketika Ia datang. Perlahan-lahan perempuan itu mengendarai motornya. Maklum, jalan yang ia lewati adalah jalan semi-gang. Jadi, jalan itu tidak terlalu lebar.


Langit sore itu sungguh cerah merona, tak seperti biasanya yang mendung tanpa hujan. Perempuan itu menikmati perjalanannya di jalan semi-gang itu dan tak sampai sepuluh menit, sampailah perempuan itu pada satu gedung yang sudah mengganggu pikirannya tadi. Selayang pandang Ia melihat gedung di sebelah kanannya itu, kantor yang Ia pertanyakan sejak seminggu yang lalu. Akhirnya, pertanyaan itu pun terjawab dan perempuan itu telah menemukan hal yang menjadi hipotesisnya.


Lalu lalang kendaraan menjadi saksi bagaimana perempuan itu menghabiskan sore harinya yang berharga demi menghilangkan rasa penasarannya selama ini. Sayangnya, Ia tak bertemu dengan seseorang yang Ia tunggu-tunggu. Yang terpenting, kata perempuan itu, selayang pandangnya dapat melihat gedung yang baru saja berdiri megah dan menjawab keraguan serta pertanyaannya selama ini.

Selasa, 22 November 2022

Dua Ribu Dua Puluh

Diposting oleh Annisa di 05.22 0 komentar

Dua tahun yang lalu, aku merasakan “hidup” ditengah lautan manusia yang merasa kehidupannya “mati”. Aku menikmati setiap menit yang kurasakan, menghirup segarnya udara didalam kamar. Untuk beberapa orang, kamar merupakan penjara yang mengekang namun untukku, kamar adalah surga yang sangat aku nikmati. Waktu merupakan hal yang nampaknya istimewa saat itu. Datangnya covid disaat yang tepat, ketika sebagian manusia bekerja tak kenal lelah meninggalkan keluarganya dirumah.

Begitu juga denganku. Jika ditanya pada tahun berapa aku ingin kembali, jawabanku akan tetap sama; Dua Ribu Dua Puluh! Banyak kisah dan pelajaran hidup yang aku ambil dari sebagian orang yang pernah dekat dalam maya dan kutemui nyatanya.  

Dari mereka aku belajar agar hidup harus terus dijalani pantang menyerah apapun halangan dan rintangan yang ada di hadapan;

Dari mereka aku belajar agar aku memiliki rencana kedua apabila rencana pertamaku gagal, aku memiliki kesempatan lain yang dapat ku usahakan;

Dari mereka aku belajar arti kerasnya hidup, semangat yang membara walaupun sering disalahkan mengenai suatu hal;

Dari mereka aku belajar kesabaran, kala ujian yang tiada henti sakit yang bertubi-tubi menyerang diri;

Sayangnya waktu tak dapat diputar kembali, aku tak memiliki laci meja nobita yang dapat menghantarkanku kembali ke masa itu. Hanya memori yang tersisa saat ini, sebagian besarnya tersimpan dalam hippocampus dan sebagian lainnya terpatri didalam hati. Sejauh apapun kakiku melangkah, mereka tak akan pernah ku lupakan. Laki-laki di tahun dua ribu dua puluh itu sungguh memberikan makna mendalam bagi hidupku dan memiliki tempat yang istimewa di kehidupanku.

Story of A Friend of Mine

Diposting oleh Annisa di 05.19 0 komentar

 “Mulanya saya bahagia, namun kelamaan saya rasa ini bukan yang saya inginkan…”

        Sepenggal cerita dari temannya teman saya menutup kepenatan di sore itu. Sekira dua minggu yang lalu, saya berjanji dengan teman lama saya semasa sekolah untuk jumpa di suatu tempat nongkrong yang tidak jauh dari kantor saya. Hari jumat adalah hari yang kami pilih untuk bertemu karena weekend adalah waktu bagi saya untuk beristirahat dari penatnya aktifitas bekerja di hari senin hingga jumat.

        Sebut saja Wanda dan Mira, teman lama saya. Wanda yang bekerja sebagai guru di sebuah sekolah swasta telah terlebih dahulu sampai di cafe tempat kami janjian, disusul Mira yang bekerja disebuah instansi pemerintah seperti halnya dengan saya. Masing-masing dari kami kemudian memesan segelas kopi ditemani cemilan. Saya dan Wanda memesan kebab, sedangkan Mira memesan kentang goreng. Sembari menunggu pesanan kami tiba, Mira memulai percakapan dengan gaya santainya seperti biasa. Ia bertanya bagaimana pekerjaan saya, kehidupan saya. Maklum, setelah putus dengan mantan pacar saya, kehidupan saya lebih tertutup sekarang dan jarang bercerita apapun kepada mereka sehingga membuat mereka penasaran terhadap saya. Saya hanya bercerita seperlunya tentang pekerjaan saya. Kemudian Wanda nyeletuk “kok seperti teman saya ya yang bilang bahwa “Mulanya saya bahagia, namun kelamaan saya rasa ini bukan yang saya inginkan..” hmmm cerita kamu persis seperti cerita teman saya.”

      Wanda bercerita bahwa Ia memiliki teman yang kehidupannya lebih baik dibandingkan kehidupannya. Temannya merupakan salah satu pegawai di instansi pemerintah. Sebut saja si A. A sering berkeluh kesah terhadap Wanda tentang betapa beratnya pekerjaannya. A merupakan seorang fresh graduate yang ketika lulus kemudian Ia mendaftar untuk menjadi pegawai negeri dan nasib mujur berpihak padanya. Ia lulus dengan nilai yang cukup baik, mengalahkan beberapa orang saingannya. Mulanya A merasa bahagia dan menganggap pekerjaannya merupakan suatu yang menyenangkan. Namun seiring berjalannya waktu, semua yang ada didalam angan-angannya hanyalah omong kosong belaka. Badai mulai menerpa dirinya terlebih lagi ketika terjadi pergantian pemimpin. Loyalitasnya mulai dipertanyakan dengan kalimat “kamu kan masih muda, belum menikah dan belum punya tanggungan. Bisalah kamu bantu-bantu lembur sampai sore dikantor.” A tetep kekeh dengan apa yang sudah menjadi pegangan hidupnya sedari dulu. Yakni, Ia tak ingin bekerja ngoyoh dan hanya ingin “ala kadarnya” yakni dengan menyelesaikan beban pekerjaannya secepatnya.

        Badai tak hanya sampai disitu saja, akan tetapi juga menerpa A ketika Ia sedang melaksanakan pendidikan untuk menyelesaikan persyaratannya agar Ia dapat menjadi pegawai sepenuhnya. Ia merasa berbagai hal sangat dipersulit. Ia tak mengerti mengapa hal tersebut hanya menimpa dirinya, tidak dengan rekannya yang lain. Bahkan ketika Ia hanya meminta tandatangan untuk persetujuan saja, Ia sampai harus mengikuti pendidikan dikantor dengan membawa perangkat elektroniknya sendiri. A tetap melakukan kewajibannya hingga senja tiba dan Ia ditemani rekan kerjanya yang pulang pada pukul enam sore. Setiap hari selama pendidikan, A bercerita kepada Wanda bahwa Ia kerap menangis. Banyak hal yang membuatnya menangis, salah satunya karena beban pendidikan yang harus Ia selesaikan beserta tugas yang menumpuk di sore hari kala pemberian materi telah usai. Tak hanya sampai disitu, atasannya yang terlampau kaku mengharuskan Ia untuk datang ke kantor apabila A memiliki keperluan untuk berkoordinasi. Singkat cerita pendidikannya telah usai, Ia pikir badai yang menerpa sudah berakhir dan ternyata Ia salah. Justru, a big disaster is just begin.

        Wanda begitu semangat menceritakan kehidupan temannya itu kepada saya dan Mira, sampai-sampai Mira tak diberi kesempatan untuk bercerita tentang kehidupannya. Saya sangat senang mendengarkan cerita Wanda karena dengan begitu, mereka tidak akan bertanya perihal kehidupan pribadi saya lagi yang tak ingin saya ceritakan detailnya. Namun saya penasaran dengan kelanjutan kalimat akhir penutup rangkaian cerita Wanda tentang "A" temannya itu yaitu "a big disaster is just begin" entah masalah apalagi yang didapatkan oleh A setelah Ia lulus dari pendidikan pegawainya itu.

 

Annisa Okta's Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting