Sebenarnya, mengingat kisah ini pun aku tak sanggup. Bukan,
bukan karna kau telah membuat hancur hatiku, tapi lebih kepada hatiku yang tak
pernah bisa lepas dari belenggu bayang-bayangmu. Kamu adalah satu-satunya pria
yang berhasil meyakinkanku kembali bahwa tak semua lelaki sama belangnya. Tapi
aku tidak terlalu percaya lebih jauh dengan kata-katamu. Karna, bayangmu semu,
ragamu hampa, tak dapat kusentuh dalam maya. Pun, aku baru mengenalmu tapi
rasanya; aku telah mengenalmu bertahun-tahun. Semua hal yang pernah kita bincangkan
ternyata tak serta-merta pergi dalam otakku. Mereka semua menari-nari kegirangan
dalam lamunanku. Setiap kudengar perbincangan orang, yang kuingat hanyalah
satu; kehangatan obrolan kita.
Perbincangan kita malam itu, tepat pukul setengah dua belas
malam, cukup memberikan penjelasan bagiku. Penjelasan bahwa aku tak perlu
mengharapkanmu kembali seperti dulu-dulu. Cukup bodoh tentunya aku mengharapkan
seseorang yang bahkan jasadnya tak pernah kusentuh, wajahnya tak pernah nampak
di depan kedua kelopak mataku. Tapi aku mengerti, itulah yang dinamakan; cinta.
Arah perbincangan kita semakin jelas. Semakin ku tahu ada apa dibalik sana. Tapi
aku tak menyerah, aku terus mengorek lebih dalam. Hingga akhirnya; aku terluka
sendirian.