Perjalanan pulang ke
rumah memang tak selalu mudah. Butuh waktu berpuluh-puluh hari bagiku untuk
meyakinkan diriku sendiri bahwa aku harus pulang ke hatimu. Sebelumnya, kita
bukanlah siapa-siapa seperti orang yang telah mengenal lama. Kamu dan aku
hanyalah sebutir debu yang dipersatukan oleh atmosfer diluar sana. Kita memulai percakapan santai. Kamu
bertanya apa sapaanku, dimana kuliahku, darimana asalku, seperti pengacara yang
ingin akrab dengan kliennya; ah aku merindukan saat-saat itu, tentunya. Setiap
malam, ada saja perbincangan yang membuat kita lebih dekat satu sama lain dan
terkadang kamu juga membalas insta-story yang aku buat. Pernah suatu hari, aku
menunggu balasan darimu yang bahkan belum pernah kutemui saat itu. Aku terlalu
cemas dan berfikir bahwa ini semua hanya permainan dan setelah menunggu
berjam-jam, akhirnya kamu membalas pesan singkat itu dengan sebuah foto. Apakah
kamu tahu apa yang aku rasakan? Jantungku berdetak kencang, mataku tak sanggup
menatap apa yang dilihatnya dan tanganku tak kuasa menekan tombol “lihat”.
Sebelumnya, kita tak pernah bertukar cerita lewat foto hanya saja kamu pernah
mengirimiku foto es krim vanilla dan berada di tengah-tengah riuhnya
orang-orang yang sedang nongkrong di sebuah restaurant. Otakku tak berhenti
bertanya-tanya, apa sebenarnya yang kamu kirimkan ini? Apakah sebuah fotomu
dengan orang yang sedang dekat denganmu? Atau…. Rasa penasaranku lebih besar
dari pemikiran dalam otakku. Tak butuh waktu lama, aku pun membukanya dan…..
kamu mengucapkan selamat pagi diiringi cerahnya mentari pagi secerah wajahku
sore itu. Asaku semakin dalam dan meyakinkan hatiku sendiri saat itu.
Seminggu kemudian, kita
bertemu. Dibawah teduhnya langit ramadhan saat itu, kita telah menentukan
kemana akan pergi menghabiskan waktu berbuka puasa. Lucu ketika melihat
tingkahmu yang tak pernah kenyang memakan sesuatu; kau tak pernah malu
didepanku. Aku menyukai itu. Dan kita lanjutkan pergi ke suatu tempat seolah
aku ingin menghabiskan malam itu denganmu namun aku diam tak bergeming seolah
tak memiliki bahan untuk berbicara denganmu. Malam itu merupakan sebuah
keberuntungan bagiku. Selanjutnya, aku berfikir kita tak akan pernah lagi
berbicara, tapi, kamu memulai ruang percakapan seraya berkata terimakasih untuk
malam ini. Aku senang, hingga tak sanggup menahan lengkungan diwajahku. Pada
saat itu satu-satunya yang ada di kepalaku hanya “tamat. Ini adalah akhir dari
semuanya.” Namun, kau menyelamatkan keberuntunganku malam itu. Hari-hari kita
lalui dengan sebatas maya hingga waktunya tiba aku akan pulang menjemput
bahagia di kampung halamanku. Hari itu menjadi alasan pertemuan terakhirku
denganmu agar dengan sukarela kamu mau membantuku; ah! Sekali lagi aku merindukan
itu semua. Setelah berbuka puasa, kamu bertanya akan kemana lagi kita saat itu.
Aku menentukan tempat yang sekiranya dapat kita capai saat itu dan aku
sangat-sangat ingin berdua denganmu sepanjang malam itu.
Tak ada yang berubah
setelahnya. Tapi, semakin jauh semakin lama kamu membalas percakapan denganku;
aku tak mengapa. Sesaat setelah euforia ramadhan selesai dan aku kembali ke
peraduan; aku merindukanmu. Aku ingin menatap matamu dalam-dalam, hanya jika
aku bisa melakukannya saat itu. Liburanku belum usai. Aku ingin membahagiakan
adik tersayangku satu-satunya dengan lebih mengalah untuk tidak menemuimu saat
ini. Kita bisa melakukan hal-hal konyol seperti saat itu suatu hari nanti. Lagi
dan lagi, aku hanya dapat mendengarkan suaramu lewat