Selasa, 26 September 2017

Bisakah Kau Pamit Terlebih Dahulu…

Diposting oleh Annisa di 02.55 0 komentar
Perjalanan pulang ke rumah memang tak selalu mudah. Butuh waktu berpuluh-puluh hari bagiku untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa aku harus pulang ke hatimu. Sebelumnya, kita bukanlah siapa-siapa seperti orang yang telah mengenal lama. Kamu dan aku hanyalah sebutir debu yang dipersatukan oleh atmosfer diluar sana. Kita memulai percakapan santai. Kamu bertanya apa sapaanku, dimana kuliahku, darimana asalku, seperti pengacara yang ingin akrab dengan kliennya; ah aku merindukan saat-saat itu, tentunya. Setiap malam, ada saja perbincangan yang membuat kita lebih dekat satu sama lain dan terkadang kamu juga membalas insta-story yang aku buat. Pernah suatu hari, aku menunggu balasan darimu yang bahkan belum pernah kutemui saat itu. Aku terlalu cemas dan berfikir bahwa ini semua hanya permainan dan setelah menunggu berjam-jam, akhirnya kamu membalas pesan singkat itu dengan sebuah foto. Apakah kamu tahu apa yang aku rasakan? Jantungku berdetak kencang, mataku tak sanggup menatap apa yang dilihatnya dan tanganku tak kuasa menekan tombol “lihat”. Sebelumnya, kita tak pernah bertukar cerita lewat foto hanya saja kamu pernah mengirimiku foto es krim vanilla dan berada di tengah-tengah riuhnya orang-orang yang sedang nongkrong di sebuah restaurant. Otakku tak berhenti bertanya-tanya, apa sebenarnya yang kamu kirimkan ini? Apakah sebuah fotomu dengan orang yang sedang dekat denganmu? Atau…. Rasa penasaranku lebih besar dari pemikiran dalam otakku. Tak butuh waktu lama, aku pun membukanya dan….. kamu mengucapkan selamat pagi diiringi cerahnya mentari pagi secerah wajahku sore itu. Asaku semakin dalam dan meyakinkan hatiku sendiri saat itu.
Seminggu kemudian, kita bertemu. Dibawah teduhnya langit ramadhan saat itu, kita telah menentukan kemana akan pergi menghabiskan waktu berbuka puasa. Lucu ketika melihat tingkahmu yang tak pernah kenyang memakan sesuatu; kau tak pernah malu didepanku. Aku menyukai itu. Dan kita lanjutkan pergi ke suatu tempat seolah aku ingin menghabiskan malam itu denganmu namun aku diam tak bergeming seolah tak memiliki bahan untuk berbicara denganmu. Malam itu merupakan sebuah keberuntungan bagiku. Selanjutnya, aku berfikir kita tak akan pernah lagi berbicara, tapi, kamu memulai ruang percakapan seraya berkata terimakasih untuk malam ini. Aku senang, hingga tak sanggup menahan lengkungan diwajahku. Pada saat itu satu-satunya yang ada di kepalaku hanya “tamat. Ini adalah akhir dari semuanya.” Namun, kau menyelamatkan keberuntunganku malam itu. Hari-hari kita lalui dengan sebatas maya hingga waktunya tiba aku akan pulang menjemput bahagia di kampung halamanku. Hari itu menjadi alasan pertemuan terakhirku denganmu agar dengan sukarela kamu mau membantuku; ah! Sekali lagi aku merindukan itu semua. Setelah berbuka puasa, kamu bertanya akan kemana lagi kita saat itu. Aku menentukan tempat yang sekiranya dapat kita capai saat itu dan aku sangat-sangat ingin berdua denganmu sepanjang malam itu.
Tak ada yang berubah setelahnya. Tapi, semakin jauh semakin lama kamu membalas percakapan denganku; aku tak mengapa. Sesaat setelah euforia ramadhan selesai dan aku kembali ke peraduan; aku merindukanmu. Aku ingin menatap matamu dalam-dalam, hanya jika aku bisa melakukannya saat itu. Liburanku belum usai. Aku ingin membahagiakan adik tersayangku satu-satunya dengan lebih mengalah untuk tidak menemuimu saat ini. Kita bisa melakukan hal-hal konyol seperti saat itu suatu hari nanti. Lagi dan lagi, aku hanya dapat mendengarkan suaramu lewat

 

Annisa Okta's Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting